Sumenep, Kompasone.com - Kasus ini kini memasuki babak baru yang lebih krusial. Desakan masyarakat Sumenep agar Kepala Cabang Express Bahari Kalianget segera dicopot dan digantikan oleh figur yang kompeten dan akuntabel semakin menguat. Tragedi ini bukan hanya sekedar insiden individual, melainkan cerminan dari kelemahan struktural yang membutuhkan pembenahan radikal.
Kegagalan manajemen dalam menyediakan informasi dasar terkait penumpang adalah indikator kuat adanya praktik operasional yang suboptimal dan berpotensi melanggar standar keselamatan.
Insiden tragis yang menimpa seorang penumpang Kapal Express Bahari 9C rute Kalianget–Kangean. Namun, alih-alih fokus semata pada pilunya dugaan aksi bunuh diri di perairan Takat Noko pada Jumat (18/04/2025), sorotan tajam kini beralih pada inkompetensi struktural dan kelemahan sistemik yang disinyalir melingkupi manajemen PT Inti Sakti Makmur, pengelola armada Express Bahari.
Dalam konferensi pers yang digelar usai rapat internal di Hotel Java In (19/04/2025), Suudin, figur publik yang dikenal dengan ketegasannya dan akrab disapa Uuk, tanpa basa-basi melontarkan kritik pedas yang menelanjangi kebobrokan manajemen perusahaan pelayaran tersebut.
Dengan retorika yang lugas dan argumentasi yang berbasis pada logika operasional, Uuk menyatakan bahwa ketidakmampuan pihak berwenang dalam mengidentifikasi korban secara komprehensif adalah simptom dari penyakit kronis dalam tubuh Express Bahari.
"Ketidakjelasan identitas korban bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan indikasi kuat adanya dua skenario yang sama-sama absurd dan membahayakan," ujar Uuk dengan nada suara yang sarat akan kegeraman intelektual.
"Pertama, kemungkinan penumpang gelap yang lolos dari sistem validasi tiket resmi. Kedua, yang lebih mengerikan, adalah praktik transaksional tiket ilegal yang terorganisir, sebuah anomali yang mengindikasikan lemahnya pengawasan dan potensi korupsi di tubuh perusahaan. Lebih jauh dari itu, kita tidak bisa mengabaikan kecurigaan adanya praktik overload penumpang, sebuah tindakan gegabah yang secara inheren mengancam keselamatan nyawa."
Uuk tidak hanya piawai dalam mendiagnosis penyakit. Dengan presisi seorang ahli bedah, ia menuntut tindakan korektif yang radikal. Audit investigatif yang komprehensif terhadap seluruh lini operasional Kapal Express Bahari menjadi imperatif yang tidak bisa ditawar.
Lebih spesifik lagi, Uuk secara eksplisit merekomendasikan agar Muhammad Nurullah, Kepala Cabang Express Bahari Kalianget, segera dibebastugaskan dari jabatannya. Kegagalan Nurullah dalam mengemban amanah kepemimpinan dianggap sebagai katalisator utama yang memperparah carut-marut manajemen, berujung pada tragedi yang tidak seharusnya terjadi.
"Dalam forum rapat yang baru usai, akumulasi informasi krusial telah kami peroleh. Sebuah konsensus bulat telah tercapai: kami akan mengadvokasi pelaporan kasus ini kepada aparat penegak hukum dan mendesak dengan segala daya upaya agar Muhammad Nurullah dicopot dari tampuk kepemimpinannya," imbuh Uuk, sorot matanya memancarkan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Pernyataan ini bukan sekadar tuntutan emosional, melainkan sebuah imperatif logis yang didasarkan pada analisis mendalam terhadap kegagalan kepemimpinan yang berimplikasi fatal.
Sebelumnya, riuh rendah pemberitaan daring pada Jumat (18/04/2025) memang telah mengabarkan dugaan aksi bunuh diri seorang penumpang Kapal Express Bahari 9C Muhammad Nurullah, dalam respons awalnya, membenarkan insiden tersebut dan bahkan menyebutkan inisial korban, AAF, berdasarkan catatan boarding yang minim.
Namun, ironi intelektual mencuat ketika Nurullah justru mengaku agnostik terhadap detail identitas lengkap korban. "Nama korban AAF, itu yang kami peroleh dari proses boarding. Namun, terkait alamat dan detail data lainnya, terus terang saya tidak mengetahuinya," kilahnya, sebuah pengakuan yang justru mengundang lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.
Absurditas informasi yang disampaikan oleh Kepala Cabang Kalianget ini menguak kejanggalan prosedural yang mendasar. Dalam sistem pembelian tiket resmi yang terstandarisasi, data komprehensif penumpang adalah keniscayaan.
Ketidakmampuan Nurullah dalam menyajikan informasi elementer ini memicu spekulasi liar mengenai potensi maladministrasi data penumpang dalam skala besar atau bahkan praktik penjualan tiket di luar sistem formal yang luput dari mekanisme registrasi yang ketat.
Pihak berwenang diharapkan tidak hanya fokus pada aspek tragis dugaan bunuh diri, tetapi juga melakukan investigasi mendalam terhadap potensi kelalaian dan praktik-praktik menyimpang dalam manajemen Express Bahari yang telah menelan korban kepercayaan publik dan berpotensi membahayakan nyawa penumpang. Ketidakmampuan seorang pemimpin untuk memberikan pertanggungjawaban informasi yang mendasar adalah alasan yang lebih dari cukup untuk mempertimbangkan kembali legitimasi kepemimpinannya.
(R. M Hendra)