Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Serangan di Resepsi, Status Kejiwaan Pelaku Jadi Polemik Hukum

Jumat, April 11, 2025, 12:42 WIB Last Updated 2025-04-11T05:42:24Z


Sumenep, Kompasone.com – Sebuah insiden yang mengusik ketenangan dan mengguncang norma sosial terjadi pada Rabu, 9 April 2025, pukul 10:30 WIB di Rumah Sukilan, Karamian, sebuah lokasi yang seharusnya menjadi saksi kebahagiaan dalam perhelatan resepsi pernikahan. Sahwito, seorang individu yang berdomisili di Sukorame, Kecamatan Nonggunong, Kabupaten Sumenep, diduga kuat melakukan serangkaian tindakan kekerasan fisik yang menimbulkan keresahan mendalam di antara para tamu undangan.


Menurut laporan saksi mata dan keterangan korban, Sahwito secara tiba-tiba melakukan penyerangan membabi buta terhadap sejumlah individu di lokasi pesta. Korban pertama yang teridentifikasi adalah Asep, seorang warga Karang Panasan, Desa Pabian, Kec. Kota Sumenep. Kab. Sumenep yang mengalami pemukulan tanpa alasan yang jelas. 


Lebih lanjut, agresi Sahwito juga menyasar ABD. Salam, tuan rumah sekaligus pihak yang bertanggung jawab atas kelancaran acara sebagai penyambut tamu. Tindakan represif Sahwito baru terhenti setelah intervensi sejumlah massa yang berusaha mengamankan situasi. Pihak keluarga Sahwito kemudian tiba di lokasi dan membawa pelaku pergi menggunakan mobil bak terbuka.


Asep, melalui sambungan aplikasi pesan singkat, menyampaikan kepada awak media ini luapan kekecewaannya atas insiden yang menimpanya. “Di acara resepsi pernikahan membuat keonaran dan memukul orang banyak,” ujarnya dengan nada penuh kepiluan, menggambarkan betapa terkejut dan traumatisnya pengalaman tersebut.


 Ironisnya, Asep mengungkapkan bahwa dirinya dan korban lainnya justru dilaporkan ke Kepolisian Sektor (Polsek) Nonggunong atas dugaan tindak penganiayaan oleh pihak keluarga Sahwito. “Padahal banyak orang tahu kalau Sahwito itu ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa),” imbuhnya dengan nada keheranan.


Lebih lanjut, Asep menyoroti kejanggalan dalam penanganan kasus ini oleh pihak kepolisian. “Yang lebih kaget lagi saya mendengar dari pihak Polsek Nonggunong bahwa Sahwito itu waras, tidak gila,” ungkapnya dengan nada skeptis. “Heran kalau Sahwito tidaklah gila, kenapa harus orang lain yang melaporkan, kok bukan Sahwito-nya sendiri?” 


Pertanyaan ini mengindikasikan adanya ketidakpercayaan korban terhadap proses hukum yang sedang berjalan, terutama terkait dengan status kejiwaan pelaku yang dipersepsikan berbeda oleh masyarakat sekitar dan pihak kepolisian.


Konfirmasi kemudian diperoleh dari Kapolsek Nonggunong, Iptu Komar, yang membenarkan adanya laporan tersebut. Iptu Komar menjelaskan bahwa pelapor dalam kasus ini adalah istri Sahwito, dan proses penyelidikan masih berlangsung. Namun, pernyataan Kapolsek tersebut justru menimbulkan pertanyaan baru terkait dengan aspek hukum dalam perkara ini.


Secara yuridis, kasus dugaan pemukulan yang dilakukan oleh Sahwito berpotensi masuk dalam kategori tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini secara eksplisit melarang tindakan sengaja menyebabkan perasaan sakit atau luka pada tubuh orang lain. Namun, dalam konteks ini, klaim mengenai status Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) pada diri pelaku menjadi krusial dalam menentukan pertanggungjawaban pidana.


Pasal 44 KUHP secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana apabila melakukan perbuatan atas pengaruh daya paksa atau karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya. Jika terbukti bahwa Sahwito ODGJ (sungguh) mengalami gangguan jiwa pada saat melakukan perbuatan tersebut, maka unsur kesalahan (mens rea) sebagai salah satu syarat mutlak adanya tindak pidana menjadi gugur, sehingga yang bersangkutan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.


Lebih lanjut, pernyataan Asep mengenai status kasus sebagai delik aduan (klacht delict) juga menimbulkan perdebatan hukum. Delik aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Dalam konteks dugaan penganiayaan, umumnya termasuk dalam kategori delik aduan. Namun, logika hukum yang mendasari delik aduan adalah adanya hak bagi korban untuk menentukan apakah perkara tersebut akan dilanjutkan ke ranah hukum atau tidak.


Pernyataan Asep yang merasa menjadi korban justru dilaporkan oleh pihak keluarga pelaku memunculkan anomali hukum. Jika benar Sahwito adalah pelaku penganiayaan, maka seharusnya ia yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pelaporan oleh pihak keluarga pelaku terhadap korban justru mengaburkan esensi dari perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan.


Keterangan Kapolsek yang menyatakan bahwa pelapor adalah istri Sahwito semakin memperumit persoalan. Sebagai delik aduan, idealnya, pihak yang merasa menjadi korban penganiayaan (dalam hal ini Asep dan ABD. Salam) yang seharusnya memiliki hak untuk mengajukan laporan. Laporan dari pihak lain, apalagi pihak keluarga terduga pelaku, menimbulkan pertanyaan mengenai validitas dan motif pelaporan tersebut.


Kasus ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum, terutama dalam menangani perkara yang melibatkan dugaan gangguan kejiwaan pelaku. Proses pembuktian status kejiwaan Sahwito akan menjadi pintu masuk utama dalam menentukan arah penyidikan dan penuntutan. Pihak kepolisian dituntut untuk melakukan pemeriksaan medis dan psikologis secara komprehensif terhadap Sahwito guna memastikan status kejiwaannya pada saat terjadinya insiden.


Selain itu, penanganan laporan yang diajukan oleh pihak keluarga Sahwito terhadap korban juga perlu ditelaah secara cermat. Prinsip keadilan dan perlindungan hukum bagi korban harus menjadi landasan utama dalam proses penyidikan. Aparat penegak hukum diharapkan bertindak profesional, transparan, dan imparsial dalam menangani kasus ini, sehingga kebenaran materiil dapat terungkap dan keadilan dapat ditegakkan bagi semua pihak yang terlibat.


Publik menanti tindak lanjut yang tegas dan terukur dari pihak kepolisian dalam mengungkap kebenaran di balik insiden ini. Kepastian hukum dan rasa keadilan bagi para korban menjadi taruhan dalam penanganan perkara yang sarat akan kompleksitas yuridis dan sosial ini.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan
iklan