Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

ODGJ Mengamuk, Korban Dilaporkan, Aroma Dugaan Pemerasan Rp 30 Juta Tercium!

Minggu, April 27, 2025, 14:26 WIB Last Updated 2025-04-27T07:26:44Z


Sumenep, Kompasone.com – Sebuah ironi hukum dan drama sosial tengah mencoreng Kecamatan Nonggunong, Sumenep, pasca insiden pengamukan Sahwito, seorang pria yang dikenal masyarakat setempat sebagai Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), di sebuah resepsi pernikahan keluarga Sukilan yang notabene masih memiliki ikatan nasab dengannya. Alih-alih berujung damai, insiden yang menyebabkan kerugian materil dan trauma bagi keluarga Sukilan ini justru berujung pada pelaporan pihak korban oleh istri Sahwito, yang diduga kuat diprovokasi oleh oknum keluarga.


Kronologi bermula ketika Sahwito membuat keonaran di tengah resepsi pernikahan keluarga Sukilan. Amukan membabi buta dan tindakan ngawur Sahwito tak hanya mengganggu jalannya acara sakral, namun juga mencederai beberapa tamu undangan. Situasi memuncak hingga terjadi aksi pembelaan diri oleh massa yang geram dengan ulah Sahwito. Keluarga Sahwito yang datang kemudian menghentikan amukan tersebut dengan menyeret dan melemparkan Sahwito ke bak mobil pick-up, bahkan diwarnai tindakan kekerasan fisik akibat kejengkelan.


Namun, alih-alih menunjukkan empati atas kerugian dan ketidaknyamanan yang dialami keluarga Sukilan, pihak keluarga Sahwito justru diduga melakukan provokasi terhadap istri Sahwito untuk melaporkan keluarga Sukilan ke Polsek Nonggunong atas dugaan penganiayaan terhadap Sahwito. Sebuah langkah hukum yang kontradiktif, mengingat keluarga Sukilan adalah pihak yang menjadi korban atas kekacauan yang ditimbulkan oleh Sahwito.


Merasa diperlakukan tidak adil, keluarga Sukilan dengan sigap mendatangi Polsek Nonggunong untuk mengklarifikasi laporan yang dilayangkan oleh pihak keluarga Sahwito. Mereka mempertanyakan status laporan tersebut, mengingat mereka adalah korban materiil dan immateriil akibat ulah Sahwito. Pesta pernikahan yang telah direncanakan jauh hari harus ternoda dan merugi akibat insiden tak terduga ini.


Kejanggalan semakin mencuat ketika Polsek Nonggunong menerima laporan tersebut sebagai delik aduan, namun terindikasi kuat mengarahkannya sebagai delik umum. Secara yuridis, pelapor seharusnya adalah Sahwito sendiri. Namun, mengingat statusnya sebagai ODGJ, kapasitas hukumnya untuk melakukan pelaporan patut dipertanyakan dan memerlukan asesmen dari ahli kejiwaan. Pernyataan anggota Polsek Nonggunong kepada keluarga korban yang mengklaim Sahwito sebagai orang waras tanpa dasar kajian medis yang valid dinilai sebagai tindakan prematur dan berpotensi melangkahi prinsip kehati-hatian dalam penegakan hukum.


Sebagai respons atas laporan tersebut, pihak keluarga Sukilan juga mengambil langkah hukum dengan melaporkan balik Sahwito atas tindakan kekerasan yang dialaminya. Namun, di tengah tensi yang meninggi, keluarga Sukilan masih menunjukkan itikad baik dengan menjenguk Sahwito di puskesmas untuk mengetahui kondisinya.


Kepala Desa Rosong, Fauzi, dengan bijaksana berupaya memediasi kedua belah pihak melalui tabayun ke kediaman keluarga Sahwito dengan tujuan mencapai perdamaian. Sayangnya, upaya mediasi yang dilakukan Fauzi berulang kali menemui jalan buntu. Bahkan, H. Mansuri, Kepala Desa Telagah yang dikenal berwibawa dan memiliki pengaruh, juga tidak mampu meluluhkan hati pihak keluarga Sahwito untuk berdamai, dengan alasan "tidak enak sama anaknya" yang bersikukuh melanjutkan perkara.


Lebih ironis lagi, pihak pelapor menolak tawaran ganti rugi sebesar Rp 4 juta yang telah disiapkan oleh keluarga Sukilan sebagai bentuk kepedulian dan upaya meringankan kerugian materiil dan imateriil yang mungkin dialami Sahwito. Penolakan ini memunculkan dugaan kuat adanya niat terselubung di balik pelaporan tersebut, yang disinyalir diprovokasi oleh oknum keluarga yang bermain di balik layar.


Konfirmasi yang dilakukan media Kompasone.com 27/4/25 10:45 kepada Kapolsek Nonggunong, Iptu M. N. Komar, terkait kegagalan upaya mediasi yang digagas Kepala Desa Rosong, berujung pada pengakuan bahwa kasus tersebut telah dilimpahkan ke Polres Sumenep. Dalam keterangannya, Iptu M. N. Komar menyatakan bahwa pihaknya telah berupaya maksimal untuk mendamaikan kedua belah pihak. 


Namun, pernyataan selanjutnya justru menimbulkan tanda tanya besar. Iptu M. N. Komar mengaku mendengar informasi dari pihak pelapor yang meminta uang damai sebesar Rp 30 juta.


"Saya dengan anggota saya sudah berupaya semaksimal mungkin Mas Hendra untuk mendamaikan kedua belah pihak, tapi ya tetap mempeng mau lanjut, tapi saya denger info bahwa dari pihak pelapor minta 30 juta, coba biar jelas Mas Hendra tanya ke Fauzi Kades Rosong," ungkap Iptu M. N. Komar.


Pernyataan Kapolsek ini semakin memperkuat dugaan bahwa pelaporan yang dilakukan oleh pihak keluarga Sahwito bukan semata-mata untuk mencari keadilan atas dugaan penganiayaan, melainkan disinyalir kuat sebagai modus operandi untuk mencari keuntungan finansial dengan memanfaatkan kondisi Sahwito sebagai alat. 


Jika benar adanya permintaan uang damai sebesar Rp 30 juta, maka kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum, di mana korban justru diposisikan sebagai pesakitan dan dimanfaatkan untuk pemerasan terselubung.


Kasus ini menjadi sorotan tajam dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai profesionalisme penanganan perkara di tingkat Polsek, serta etika dan moralitas pihak-pihak yang terlibat. 


Masyarakat Nonggunong dan pemerhati hukum berharap agar Polres Sumenep dapat mengusut tuntas kasus ini secara transparan dan adil, serta mengungkap motif sebenarnya di balik pelaporan yang penuh kejanggalan ini. Keadilan harus ditegakkan, dan pihak yang benar-benar menjadi korban tidak seharusnya justru menjadi pihak yang terzolimi oleh proses hukum yang cacat.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan
iklan