Sumenep, Kompasone.com - sebuah babak baru dalam pusaran kontroversi ini muncul dengan adanya inisiatif islah atau tabayun dari keluarga besar Sukilan, termasuk Tolak Edi, kepada keluarga Sahwito. Kepala Desa Rosong, Fauzi, mengungkapkan bahwa langkah ini didasari oleh pertalian nasab yang masih terjalin erat antara kedua belah pihak. "Begini, Mas, antara pihak terlapor dan pelapor sebenarnya masih memiliki hubungan kekeluargaan.
Oleh karena itu, saya mengarahkan untuk melakukan islah atau tabayun, bukan karena kita merasa bersalah atau takut menghadapi persoalan ini, melainkan demi menjaga keharmonisan dan menghindari permusuhan," tegas Fauzi. "Sebagai umat muslim, kita dilarang memutuskan tali silaturahmi," imbuhnya, menekankan nilai-nilai luhur yang mendasari upaya mediasi ini.
Namun, upaya mulia ini ternyata menemui sejumlah kendala birokratis dan politis di tingkat desa. Fauzi mengungkapkan kekecewaannya atas sikap Kepala Desa Tlagah, H. Mansuri, yang semula menunjukkan kesediaan untuk memfasilitasi islah, namun kemudian berubah pikiran dengan alasan "tidak enak" dengan pihak lain.
"Saya sudah berulang kali mendatangi pihak keluarga Sahwito dan juga Kepala Desa Tlagah, H. Mansuri, dengan harapan beliau dapat membantu menjembatani islah ini demi kemaslahatan masyarakat Nonggunong," ujar Fauzi dengan nada frustrasi. "Awalnya, Pak Kades Mansuri menyatakan kesiapannya, namun kemudian berubah dengan alasan tidak enak dengan H. Juhri."
Lebih lanjut, Fauzi menceritakan upaya terakhirnya dengan membawa sejumlah uang sebagai bentuk ganti rugi materiil dan imateriil kepada keluarga Sahwito, yang lagi-lagi menemui jalan buntu akibat perubahan sikap H. Mansuri. "Padahal, malam Kamis lalu, H. Mansuri mengatakan bahwa hari Jumat kita akan bersama-sama ke Polsek Nonggunong dan pihak polsek menyarankan untuk membuat surat damai.
Beliau bahkan mengatakan bahwa urusan keluarga Sahwito adalah keputusannya. Namun, lagi-lagi, sebelum hari yang dijanjikan tiba, H. Mansuri berubah pikiran karena anak Sahwito tetap ingin melanjutkan perkara ini," terang Fauzi dengan senyum getir.
Dari kesimpulan diatas, aktivis pemerhati kebijakan, Rasyid Nadyin Sabtu 26/4/25 menyimpulkan “Kekacauan yang dipicu oleh Sahwito ODGJ di resepsi pernikahan Keluarga besar Sukilan berujung saling lapor sebuah ironi pahit membentang di Kecamatan Nonggunong, Kabupaten Sumenep, tatkala inisiatif luhur untuk merajut kembali harmoni sosial justru terbentur pada tembok ketidakberdayaan. H. Mansuri,
Kepala Desa Tlagah yang selama ini dikenal dengan kearifan dan kecintaannya pada tradisi kerapan sapi, mendapati dirinya berada dalam pusaran dilema yang menggerogoti kewibawaan seorang pemimpin. Upaya mediasi yang digagas oleh Kepala Desa Rosong, dengan niatan mulia untuk mendamaikan warganya dengan masyarakat Tlagah pasca insiden amukan seorang individu dengan gangguan jiwa (ODGJ) di tengah perhelatan resepsi pernikahan, kandas tanpa membuahkan hasil yang signifikan.” tegasnya
“Bola api konflik yang semula diharapkan dapat dipadamkan melalui jalur musyawarah, kini justru menggelinding liar, mengancam membakar setiap jalinan sosial yang ada di depannya. Kegagalan diplomasi tingkat desa ini bukan hanya sekadar penundaan penyelesaian masalah, melainkan sebuah indikasi mengkhawatirkan tentang potensi disintegrasi sosial di Kecamatan Nonggunong pada masa mendatang.”
“ Dalam tatanan masyarakat agraris seperti di Sumenep, Kepala Desa memegang peran sentral layaknya "raja kecil" yang titahnya diharapkan dipatuhi dan dihormati. Kewibawaan seorang kepala desa menjadi fondasi bagi stabilitas dan kepatuhan masyarakat. Namun, dalam konteks upaya perdamaian yang melibatkan dua desa bertetangga ini, H. Mansuri, terlepas dari reputasi arifnya, justru terkesan kehilangan daya tawar dan ketegasan. Sikapnya yang dinilai inkonsisten dan abai dalam memperjuangkan islah mengundang tanda tanya besar atas komitmennya terhadap kerukunan masyarakat.”
“Perubahan sikap H. Mansuri yang terkesan plin-plan, di mana keputusan awalnya untuk memfasilitasi perdamaian kemudian berubah dengan alasan yang kurang substansial, telah meruntuhkan kepercayaan sebagian masyarakat. Analogi "mobil mainan anak-anak" yang dapat ditarik ulur oleh pemiliknya secara pedas menggambarkan betapa rapuhnya independensi dan ketegasan sang kepala desa dalam menangani persoalan sensitif ini.”
Situasi ini memunculkan spekulasi liar di tengah masyarakat. Ketidakmampuan kepala desa dalam mengambil sikap yang konsisten dan tegas berpotensi memicu persepsi negatif, seolah-olah ada keberpihakan atau kepentingan tersembunyi di balik inkonsistensinya. Pepatah "pilih kasih" pun tak terhindarkan dari bisik-bisik warga yang merasa kecewa dengan kepemimpinan yang dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap persatuan.
Lebih jauh Rasyid, “mandeknya upaya damai ini memperlihatkan adanya potensi erosi nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang seharusnya menjadi ruh dalam penyelesaian konflik di tingkat desa. Ketika seorang pemimpin yang diharapkan menjadi mediator justru terkesan ragu dan tidak memiliki wibawa, maka mekanisme penyelesaian masalah secara kekeluargaan menjadi terancam. Hal ini dapat mendorong masyarakat untuk mencari penyelesaian melalui jalur lain yang berpotensi memperkeruh suasana dan memperdalam jurang pemisah antar kelompok.” tutup Rasyid
Kegagalan H. Mansuri dalam mengemban amanah sebagai mediator yang efektif bukan hanya menjadi catatan kelam dalam kepemimpinannya, tetapi juga menjadi preseden buruk bagi upaya penyelesaian konflik di masa depan. Jika seorang kepala desa yang dikenal arif pun gagal menunjukkan ketegasan dan komitmen dalam menjaga kerukunan, lalu kepada siapa lagi masyarakat dapat berharap?
Kondisi ini menuntut introspeksi mendalam bagi seluruh elemen masyarakat dan para pemimpin di Kecamatan Nonggunong. Diperlukan evaluasi kritis terhadap gaya kepemimpinan dan komitmen para pemangku kepentingan dalam menjaga harmonis sosial.
Jika tidak ada langkah konkret dan tegas untuk mengatasi kemandegan diplomasi ini, bukan tidak mungkin bara konflik yang saat ini masih menyala kecil akan membesar dan meluluhlantakkan tatanan sosial yang telah lama terjalin di Nonggunong. Kewibawaan seorang pemimpin bukan sekadar atribut personal, melainkan fondasi penting bagi terciptanya masyarakat yang rukun dan damai. Ketika fondasi itu rapuh, maka stabilitas seluruh bangunan sosial pun terancam.
(R. M Hendra)