Sumenep, Kompasone.com - Gelombang pemeriksaan yang dilakukan Kejaksaan Negeri Sumenep terhadap 150 kepala desa terkait program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang sempat mengguncang stabilitas pemerintahan desa, kini diwarnai narasi baru yang mengarah pada potensi "zona aman" bagi para pemimpin tingkat akar rumput tersebut. Informasi ini mencuat dari seorang aktivis yang memilih untuk tetap dalam anonimitas, namun memiliki pemahaman mendalam terhadap seluk-beluk perkara ini.
Sang aktivis, dengan nada Santai suara parau seorang analis hukum, menyatakan bahwa pusaran kasus BSPS ini kemungkinan besar tidak akan menyeret para kepala desa ke dalam pusaran tuntutan pidana yang memberatkan. Argumentasi yang dilontarkan bertumpu pada tesis bahwa para kepala desa, alih-alih menjadi aktor intelektual dalam dugaan penyimpangan, justru merupakan korban dari sebuah sistem yang telah dirancang secara rapi dan terkontaminasi oleh pemain-pemain yang lebih terstruktur.
"Posisi kepala desa, dalam perspektif hukum yang lebih holistik, setidaknya berada dalam koridor aman, meskipun konsekuensi berupa kewajiban pengembalian dana kepada kas negara hampir tak terhindarkan," ujar sang aktivis dengan diksi yang sarat akan nuansa yuridis.
"Kewajiban pengembalian sebesar Rp 5.000.000 dikalikan jumlah unit BSPS yang telah terealisasi lebih merupakan langkah restitutif daripada punitif. Minimnya mens rea atau niat jahat yang melekat pada tindakan kepala desa, ditambah dengan kuatnya indikasi bahwa mereka bergerak dalam kerangka sistem yang didesain oleh pendamping BSPS, secara signifikan memperkecil peluang adanya actus reus yang memenuhi unsur tindak pidana korupsi yang berat."
Lebih lanjut, sang aktivis menegaskan bahwa kerugian negara dalam konteks ini menjadi debatable jika para kepala desa menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan dana yang dianggap bermasalah. Esensi dari delik korupsi adalah adanya kerugian negara yang nyata dan terukur. Jika dana tersebut dikembalikan, maka unsur kerugian negara menjadi debatable, dan dengan demikian, landasan untuk penahanan menjadi semakin rapuh. Fokus penegak hukum kemungkinan besar akan bergeser pada aktor-aktor yang berada di balik layar perancangan sistem yang disinyalir bermasalah ini.
Pernyataan ini seolah menjadi angin segar bagi para kepala desa yang tengah harap-harap cemas menanti panggilan dari Kejaksaan Negeri Sumenep. Implikasi dari analisis ini adalah bahwa para pemimpin desa diharapkan untuk tidak terjebak dalam kepanikan yang kontraproduktif, mengingat proses penanganan perkara ini masih berada dalam tahap awal di bawah yurisdiksi Kejaksaan Negeri Sumenep.
Kendati demikian, penting untuk dicatat bahwa pernyataan ini masih merupakan perspektif dari seorang aktivis dan belum menjadi putusan yudisial yang mengikat. Proses hukum memiliki dinamikanya sendiri, dan Kejaksaan Negeri Sumenep tentu akan melakukan penyelidikan secara komprehensif berdasarkan fakta dan bukti yang terkumpul.
Namun, narasi ini memberikan secercah harapan bagi para kepala desa, bahwa keterlibatan mereka dalam pusaran BSPS ini lebih disebabkan oleh force majeure sistemik daripada voluntarium dengan niat jahat.
Publik kini menanti dengan seksama perkembangan lebih lanjut dari penanganan kasus BSPS ini. Apakah analisis sang aktivis akan terkonfirmasi oleh langkah-langkah hukum Kejaksaan Negeri Sumenep? Ataukan akan ada kejutan yuridis lain yang mengubah peta perkara ini? Yang jelas, drama di balik riuhnya BSPS Sumenep ini masih akan terus bergulir, dengan implikasi hukum dan politik yang signifikan bagi para kepala desa dan pihak-pihak terkait.
(R. M Hendra)