Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Aroma Kejanggalan Mencuat, Dugaan Permainan Kotor di Balik Pelaporan Kasus

Jumat, April 25, 2025, 23:14 WIB Last Updated 2025-04-25T16:15:12Z


Sumenep, Kompasone.com - Sebuah Kontradiksi hukum yang mencengangkan dan mengusik nalar sehat kini menyeruak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Bagaimana mungkin tindakan defensif, sebuah respons naluriah untuk melindungi nyawa dari ancaman nyata, justru berujung pada status terlapor bagi sang pembela? 


Inilah ironi pahit yang dialami Tolak Edi, Bapak Asip atau atau yang akrab disapa Asep seorang mantan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) COMMANDO, pasca insiden mencekam pada 9 April 2025 di kediaman Sukilan. Asep Menguraikan tujuh belas  hari berlalu sejak peristiwa yang melibatkan seorang individu dengan gangguan jiwa (ODGJ) bernama Sahwito, yang disebut-sebut menebar teror.


Alih-alih mendapatkan apresiasi atas tindakan sigapnya menyelamatkan sang saudara dari cengkeraman maut, Tolak Edi justru mendapati dirinya berhadapan dengan laporan polisi dari pihak keluarga Sahwito.


Laporan yang dilayangkan ke Polsek Nonggunong tersebut secara absurd menuduh Tolak Edi melakukan penganiayaan. Undangan klarifikasi pun telah dilayangkan, dengan agenda pemeriksaan pada Selasa, 22 April 2025.


Tolak Edi, saat dikonfirmasi Kompas One pada 18 April 2025, tak mampu menyembunyikan keterkejutannya atas surat panggilan dari aparat kepolisian. Dengan retorika yang tajam namun terukur, ia memaparkan kronologi kejadian yang menurutnya jelas-jelas merupakan tindakan pembelaan diri. 


"Saya sangat heran, Mas Hendra. Bagaimana mungkin saya dituduh melakukan penganiayaan? Tindakan saya semata-mata adalah upaya penyelamatan nyawa saudara, yaitu adik saya dari cekikan kuat Sahwito. Jika saya tidak bertindak cepat, konsekuensinya bisa fatal," ungkapnya dengan nada tak percaya.


"Tidakkah tindakan mencekik leher hingga berpotensi merenggut nyawa itu justru merupakan indikasi kuat dugaan penganiayaan dan percobaan pembunuhan?" lanjutnya, menyiratkan kejanggalan perspektif pelapor.


Kendati demikian, sebuah babak baru dalam pusaran kontroversi ini muncul dengan adanya inisiatif islah atau tabayun dari keluarga besar Sukilan, termasuk Tolak Edi, kepada keluarga Sahwito.


Kepala Desa Rosong, Fauzi, 23/4/25 mengungkapkan bahwa langkah ini didasari oleh pertalian nasab yang masih terjalin erat antara kedua belah pihak.


"Begini, Mas, antara pihak terlapor dan pelapor sebenarnya masih memiliki hubungan kekeluargaan. Oleh karena itu, saya mengarahkan untuk melakukan islah atau tabayun, bukan karena kita merasa bersalah atau takut menghadapi persoalan ini, melainkan demi menjaga keharmonisan dan menghindari permusuhan," tegas Fauzi.


"Sebagai umat muslim, kita dilarang memutuskan tali silaturahmi," imbuhnya, menekankan nilai-nilai luhur yang mendasari upaya mediasi ini.


Namun, upaya mulia ini ternyata menemui sejumlah kendala birokratis dan politis di tingkat desa. Fauzi mengungkapkan kekecewaannya atas sikap Kepala Desa Tlagah, H. Mansuri, yang semula menunjukkan kesediaan untuk memfasilitasi islah, namun kemudian berubah pikiran dengan alasan "tidak enak" dengan pihak lain.


"Saya sudah berulang kali mendatangi pihak keluarga Sahwito dan juga Kepala Desa Tlagah, H. Mansuri, dengan harapan beliau dapat membantu menjembatani islah ini demi kemaslahatan masyarakat Nonggunong," ujar Fauzi dengan nada frustrasi.


"Awalnya, Pak Kades Mansuri menyatakan kesiapannya, namun kemudian berubah dengan alasan tidak enak dengan H. Juhri."


Lebih lanjut, Fauzi menceritakan upaya terakhirnya dengan membawa sejumlah uang sebagai bentuk ganti rugi materiil dan imateriil kepada keluarga Sahwito, yang lagi-lagi menemui jalan buntu akibat perubahan sikap H. Mansuri. 


"Padahal, malam Kamis lalu, H. Mansuri mengatakan bahwa hari Jumat kita akan bersama-sama ke Polsek Nonggunong dan pihak polsek menyarankan untuk membuat surat damai. Beliau bahkan mengatakan bahwa urusan keluarga Sahwito adalah keputusannya.


Namun, lagi-lagi, sebelum hari yang dijanjikan tiba, H. Mansuri berubah pikiran karena anak Sahwito tetap ingin melanjutkan perkara ini," terang Fauzi dengan senyum getir.


Kasus ini bukan hanya sekedar persoalan hukum antar individu, melainkan juga cerminan kompleksitas relasi sosial, nilai-nilai kearifan lokal, dan potensi distorsi dalam penegakan hukum. Pertanyaan mendasar yang menggantung adalah. 


di mana letak keadilan jika tindakan membela diri justru dikriminalisasi? Anomali hukum di Sumenep ini menjadi preseden yang mengkhawatirkan dan menuntut pengkajian mendalam atas mekanisme penegakan hukum yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip keadilan dan akal sehat.


Masyarakat menanti dengan cemas, berharap agar kebenaran dan keadilan dapat ditegakkan, tanpa mengorbankan logika dan nurani.


(R. M Hendra)

Iklan

iklan
iklan