Sumenep, Kompasone.com – Pemilihan kembali Sutan Hadi Tjahyadi sebagai Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sumenep periode 2024-2028 dalam Musyawarah Olahraga Kabupaten Luar Biasa (Musorkablub) baru-baru ini telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat dan pengamat kebijakan publik. Keputusan ini dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip good governance dan menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait potensi konflik kepentingan.
Sutan Hadi Tjahyadi, yang juga menjabat sebagai anggota DPRD Sumenep Komisi I, berhasil mengamankan kembali posisi puncak di KONI dengan dukungan dari 22 cabang olahraga dari total 23 cabang yang ada. Kemenangan telak ini pun tak pelak menjadi sorotan publik, terlebih mengingat rekam jejaknya yang sebelumnya juga pernah menjabat sebagai Ketua KONI sebelum terjun ke dunia politik.
Pengamat kebijakan publik, Rasyid Nahdliyin, secara tegas menyoroti potensi konflik kepentingan yang melekat pada posisi ganda yang diemban oleh Sutan Hadi Tjahyadi. “Hal ini seakan dipaksakan untuk sebuah tujuan dan kepentingan tertentu,” tegas Rasyid. Ia mempertanyakan mengapa Sutan kembali dipilih, sementara masih banyak putra daerah lain yang memiliki potensi dan kapabilitas yang tidak kalah untuk memimpin KONI.
Rasyid juga menyuarakan kekhawatirannya bahwa Sutan mungkin hanya menjadi “boneka” yang mudah dimanipulasi untuk kepentingan pihak tertentu. “Sangat mudah bagi masyarakat untuk melihat bahwa Sutan diduga hanya menjadi alat untuk mencapai tujuan tertentu,” ujarnya.
Rasyid mengungkapkan masih banyak putra daerah lainnya yang sangat potensial yang dinilai memiliki pengalaman dan dedikasi yang lebih tinggi untuk memimpin KONI. Menurutnya, figur-figur Putra daerah kabupaten Sumenep yang seharusnyalah diberikan kesempatan untuk membawa perubahan positif bagi dunia olahraga di Sumenep.
Secara hukum, belum ada regulasi yang secara eksplisit melarang seorang anggota legislatif untuk merangkap jabatan sebagai ketua organisasi olahraga seperti KONI. Namun, potensi konflik kepentingan yang timbul dari situasi ini tidak dapat diabaikan.
Konflik kepentingan terjadi ketika seorang individu memiliki kepentingan pribadi atau profesional yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan yang diambilnya dalam kapasitas jabatan publik. Dalam kasus Sutan Hadi Tjahyadi, terdapat potensi konflik kepentingan antara kepentingan pribadi untuk mempertahankan kedudukan di KONI dengan tanggung jawab sebagai anggota DPRD dalam mewakili kepentingan masyarakat.
Kondisi ini berpotensi menghambat perkembangan olahraga di Sumenep. Jika keputusan-keputusan strategis di KONI lebih didorong oleh kepentingan politik atau pribadi daripada kepentingan pengembangan olahraga secara keseluruhan, maka akan sulit bagi olahraga Sumenep untuk mencapai prestasi yang optimal.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan KONI Sumenep. Masyarakat perlu diberikan akses informasi yang lebih luas mengenai penggunaan anggaran KONI, proses pengambilan keputusan, dan prestasi yang telah dicapai.
Selain itu, perlu dilakukan evaluasi secara berkala terhadap kinerja pengurus KONI. Jika ditemukan adanya indikasi pelanggaran atau penyimpangan, maka harus diambil tindakan tegas sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pemilihan kembali Sutan Hadi Tjahyadi sebagai Ketua KONI Sumenep telah memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat. Potensi konflik kepentingan yang timbul dari posisi ganda yang diembannya menjadi sorotan utama. Untuk memastikan perkembangan olahraga di Sumenep berjalan dengan baik, perlu dilakukan langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan good governance dalam pengelolaan KONI.
(R. M Hendra)